Pages

Saturday, February 19, 2011

Menjadi Ibu, Membukakan Mataku


“Bundaku..!” terdengar suara melengking khas anak-anak.
“Bundaku, wek..!!” sahut anak lainnya, terdengar lebih tinggi.
“Bukan! Bundaku..!!
“Bundaku..!!”
“Bundaaa...!!”

Suara ramai kedua bocah itu semakin tinggi. Aku tersenyum sambil geleng-geleng kepala melihat tingkah mereka.
Begitulah tingkah mereka kalau sedang berkumpul bersama. Sesekali berantem; bukan hanya memperebutkan mainan, tapi juga kadang ‘berebut’ aku. Bergegas kuangkat piring terakhir dari kitchen sink. Setelah mengelap tanganku, kuhampiri kedua bocah itu. Mereka adalah Nadaa dan Hilmy, anak-anakku. 

April mendatang Nadaa genap berumur 7 tahun, sedangkan Hilmy kini 2,5 tahun. Waktu berjalan begitu cepat rupanya. Rasanya baru kemarin aku mencuci popok Nadaa, sekarang dia sudah pandai memilih sendiri baju mana yang akan dipakainya ketika kami sekeluarga akan pergi jalan-jalan. Belum lepas dari ingatanku bagaimana aku mengajari Hilmy merangkak dan berjalan, sekarang jagoanku itu sudah pintar berlarian dan berkejaran dengan kakaknya.

Menjadi ibu bagi kedua bocah kecilku adalah suatu “keajaiban”. Bagaimana tidak. Aku, yang jauh dari kesan feminin, yang tidak suka anak kecil, yang tidak keibuan, ternyata bisa juga menjadi ibu, melahirkan dan merawat anak-anakku, serta dipanggil “Bunda” oleh mereka. Aku, yang seringkali bangun tidur sesuka hati pada hari libur, ternyata bisa bangun di pagi buta (bahkan kadang semalaman tidak tidur) demi krucil-krucilku ketika mereka masih bayi, atau saat-saat mereka sakit, tanpa peduli apakah itu hari libur, week-end atau tanggal merah.

Memiliki mereka adalah anugerah. Mereka menjadikanku sebagai sosok yang penting dan berarti. Seringkali, di saat diri merasa “tak berguna”, merasa diabaikan dan dilupakan oleh teman dan lingkungan, anak-anakku selalu melihat bundanya sebagai orang yang paling penting bagi mereka.

Dengarlah celoteh mereka; “Lebih suka dimandikan Bunda”, “Mau tidur sama Bunda”, “Pengen ikut Bunda pergi”, “Bunda, bacain cerita dong”, “Sama Bunda aja ah”. Semua itu membuatku melupakan rasa terabaikan oleh sekitar dan merasa diri dihargai. Karena ternyata makhluk-makhluk kecil ini begitu membutuhkanku dan selalu menganggapku istimewa.

Menjadi ibu bagi anak-anakku membuatku senantiasa belajar banyak ilmu. Dari biologi hingga agama. Dari tata boga hingga olah raga. Dari kesehatan hingga kesenian. Dari fisika hingga bahasa. Dari psikologi hingga geografi. Dari desain interior hingga ekonomi.

Biologi, karena sejak mengetahui kehamilanku aku jadi tertarik untuk tahu perkembangan makhluk kecil di dalam perutku. Pertumbuhan mereka dari minggu ke minggu, dari bulan ke bulan, sungguh menakjubkan. Dari setitik embrio hingga perlahan tapi pasti semakin sempurna berwujud sesosok manusia mungil. Dari sesuatu yang diam hingga setelah berbulan kemudian asyik berenang-renang di dalam rahimku, terkadang meninju dan menendang dinding perutku.

Agama, karena aku ingin anak-anakku tumbuh sebagai pribadi shalih dan shalihat. Aku ingin mereka selalu ingat shalat lima waktu dan disayang Allah, maka aku pun harus senantiasa menegakkan sholatku. Dan ketika dengan fasih Nadaa membaca doa untuk kedua orang tua, aku pun melafalkan “amin” dengan terharu. Mendengar Hilmy mengucap “assalamu’alaikum” dengan suara cadelnya membuatku geli sekaligus bahagia.

Tata boga, karena aku yang tidak suka dan tidak terampil memasak ini merasa harus bisa memberi yang terbaik bagi mereka. Tentu saja sebatas kemampuanku. Mendadak aku jadi suka membaca aneka resep bubur bayi, dan ketika mereka semakin besar aku sering tertarik untuk mencoba resep praktis bekal sekolah.

Olahraga, karena anak-anak selalu penuh energi, mengajakku bergerak dan beraktivitas tak kenal lelah. Berlari, memanjat, melompat. Main bola, bulutangkis, lompat tali. Sungguh bermain dengan mereka membuatku berkeringat. Bergerak bersama mereka sambil tertawa, serasa benar-benar mengolah fisik sambil melepas adrenalin.

Kesehatan, karena semenjak menjadi ibu aku ingin selalu melindungi mereka, jauh dari penyakit. Aku belajar tentang gejala bermacam penyakit, untuk waspada terhadapnya. Ketika anak-anakku sakit, aku belajar untuk berhati-hati dan bijak dalam meberi obat untuk mereka. Bahwa antibiotik bukanlah segalanya, bahkan berbahaya jika diberikan tanpa memperhatikan petunjuk yang benar. Ketika aku khawatir Nadaa kurang memberi respon dan terkesan acuh tak acuh di kala usianya menginjak satu tahun, aku rajin membaca tentang gejala autisme dan ADHD (syukurlah Nadaa baik-baik saja hingga kini). Pun ketika dia seringkali batuk hingga bolak-balik ke dokter, aku getol mencari tahu tentang ramuan tradisional, tak ingin di usianya yang masih kecil terlalu sering terpapar obat-obatan kimiawi.

Kesenian, karena mereka suka memintaku bernyanyi bersama mereka. Bertepuk tangan dan bergerak seirama lagu. Menyenandungkan lagu sebagai pengantar tidur mereka. Menggambar untuk mereka, yang ajaibnya selalu berhasil ditebak oleh si kecil Hilmy, walaupun gambarku seadanya.

Fisika, karena mereka anak-anak yang cerdas, yang kritis dan besar rasa ingin tahunya tentang alam semesta. “Kenapa ada hujan; kenapa matahari terbit dan terbenam; kenapa banjir; kenapa ompol baunya pesing” adalah beberapa pertanyaan yang Nadaa lontarkan sebelum dia genap berusia 3 tahun. Ketika Hilmy menanyakan hal yang sama, aku yakin sang kakak akan bisa menjelaskan dengan pemahaman dan bahasanya.

Bahasa, karena anak-anak selalu kritis dan suka bercerita. Ingin tahu makna kata-kata yang baru didengarnya. Yang diperolehnya dari syair lagu, penggalan iklan di jalan, hingga berita di televisi. Yang membuatku sedikit memutar otak untuk mencari penjelasan dengan bahasa sederhana yang mudah dipahaminya. Pun dengan Bahasa Inggris dan Bahasa Jawa. Seringkali aku tersenyum mendengar Hilmy dengan santun berucap “nggih..”, atau membaca ungkapan hati Nadaa yang dituangkannya dalam sebentuk surat untukku, dengan diselingi satu-dua kata in English.

Psikologi, karena aku ingin belajar memahami mereka, dengan segala keunikan khas dunia anak-anak. Aku belajar, bahwa si kakak yang cenderung introvert butuh perlakuan yang berbeda dengan adiknya yang ekstrovert. Dan ketika di usia 2-3 tahun mereka terkadang berlaku menjengkelkan, seperti tantrum misalnya, aku belajar untuk tidak terpancing emosi. Belajar untuk mengerti, bahwa itu adalah cara mereka berkomunikasi, dan bukan karena mereka ‘nakal’. Aku ingin menjadi sahabat dan teman mereka, hingga mereka tumbuh dewasa.

Geografi, karena aku ingin anak-anakku mengenal dunia. Menjelajahinya untuk kemudian memperbesar rasa syukur kepada Allah. Aku kagum pada keingintahuan Nadaa yang besar terhadap negara-negara di belahan dunia. Pertanyaan-pertanyaannya yang muncul ketika nonton film atau sepakbola, “Jerman itu di mana Bunda..? Dekatnya mana..? Berapa jauh..?” Atau ketika Hilmy dengan suara cadelnya menjawab, “Belanda” ketika ditanya nanti akan sekolah di mana. Semua itu membuatku ingin mengenalkan dunia pada mereka.

Desain interior, karena aku ingin anak-anak nyaman berada di rumah. Aku ingin mereka bisa bermain dan belajar dengan leluasa walaupun rumah kami sederhana dan tidaklah besar. Maka terkadang kursi panjang di ruang keluarga pun digeser, kasur atau tikar digelar, demi membuat anak-anak bebas bergerak.

Ekonomi, karena aku ingin merencanakan yang terbaik untuk masa depan mereka. Didorong rasa ingin belajar, aku menjadi salah satu fans Safir Senduk, financial planner yang terkenal itu. Berbagai buku perencanaan keuangan pun menjadi koleksiku. Aku ingin pintar mengelola keuangan keluarga dan berinvestasi di tengah penghasilan kami yang sedang-sedang saja dan situasi ekonomi yang tidak menentu. Aku ingin anak-anakku menjalani hari-hari dengan indah, sekolah sampai tinggi, belajar dengan tenang, tanpa memikirkan kesuliatan biaya.

Lebih dari itu semua, di atas semua ilmu yang kupelajari demi anak-anakku, tanpa sadar anak-anak justru telah mengajariku tentang sesuatu yang lebih berarti. Tentang bersabar dan bersyukur. Tentang berkorban dan tanggung jawab. Tentang cinta dan ikhlas. Tentang memberi dan memaafkan. Tentang berusaha maksimal dan tawakal setelahnya.

Terima kasih anak-anakku. Menjadi ibu dari kalian telah membukakan mata Bunda akan banyak hal. Tentang hidup dan kehidupan.

(Rotterdam, 19 Februari 2011)

Keterangan:
Tantrum : atau lengkapnya temper tantrum, adalah ledakan kemarahan seorang anak, di saat si anak menunjukkan kemandirian dengan sikap negatifnya, seperti berteriak, menjerit-jerit, menangis keras-keras, membanting barang, dan sebagainya. Bisaanya dialami oleh anak-anak umur 2 sampai 4 tahun.
Nggih : iya (bahasa jawa halus)

No comments:

Post a Comment