[Berdasarkan kisah nyata seorang sahabat, seorang ibu, yang bersedia dibagi untuk diambil hikmahnya. Sengaja, cerita diambil dari sudut pandang sang anak]
Kenalkan, namaku Radit. Umur 9 tahun, kelas 3 SD. Kata orang-orang, aku mewarisi wajah tampan dan otak cerdas ayahku. Seorang insinyur yang bekerja di perusahaan otomotif terkenal. Sedangkan pembawaanku yang kalem menurun dari ibuku. Beliau ibu rumah tangga biasa, yang setia menjadi penunggu rumah kami. Mengurus segala keperluanku dan Ayah dengan baik.
Kenalkan, namaku Radit. Umur 9 tahun, kelas 3 SD. Kata orang-orang, aku mewarisi wajah tampan dan otak cerdas ayahku. Seorang insinyur yang bekerja di perusahaan otomotif terkenal. Sedangkan pembawaanku yang kalem menurun dari ibuku. Beliau ibu rumah tangga biasa, yang setia menjadi penunggu rumah kami. Mengurus segala keperluanku dan Ayah dengan baik.
Di sekolah aku dikenal sebagai murid yang cerdas. Selalu langganan ranking 3 besar sejak kelas 1. Padahal aku merasa tak terlalu rajin belajar. Biasa-biasa saja. Aku juga suka main, terutama main bola. Tapi, tak seperti kebanyakan teman lain seusiaku yang sedang gemar-gemarnya ber-internet ria: entah itu Facebook, atau game online, atau apalah, aku justru benci internet.