Pages

Thursday, May 29, 2014

Cerpen Bobo: Mami Skoli


Merupakan cerpen kedua yang dimuat di Majalah Bobo. Dikirim tanggal 13 Februari 2012, dan baru dimuat pada bulan November 2012. Sayang tidak ada dokumentasi fotonya, hiks. Jadi pake foto sedapetnya aja deh dari BB: foto Hilmy yang lagi utak-atik hp setelah capek baca Bobo :D
 
Ini dia cerita selengkapnya:


MAMI SKOLI

“Duduknya, Farah..”

Hmm, lagi-lagi Mami mengingatkan cara duduk Farah. Farah sudah hapal dengan teguran Mami yang satu ini.

“Farah, duduknya..!,” ulang Mami agak keras.

“Iya Mi..,” jawab Farah malas. Matanya masih asyik tertuju ke layar tivi. Perlahan ditegakkan punggungnya.

“Kalau mau bersandar, geser pantatnya ke sandaran kursi. Punggung lurus menempel ke sandaran. Jangan sikap malas begitu. Tegak 90 derajat,” nasihat Mami panjang lebar.

Sebenarnya Farah sudah hapal luar kepala ‘aturan posisi duduk’ ala Mami ini. Tapi menurut Farah, duduk bersandar dengan sikap malas alias setengah duduk – setengah baring itu yang paling enak. Duduk tegak, walaupun bersandar, hanya membuat keasyikannya membaca atau menonton tivi jadi berkurang.

Kenapa sih Mami selalu cerewet mengingatkan cara dudukku, batin Farah.

“Mami tidak ingin Farah seperti Mami,” tiba-tiba saja Mami sudah duduk di sebelah Farah. Diraihnya tangan Farah lalu diarahkan ke punggung. Mami menyuruh Farah meraba punggung Mami.

Penasaran, Farah meraba punggung Mami baik-baik.

“Lho, ini kenapa Mi..?” Farah bertanya heran.

Selama ini Farah tidak menyadari bahwa ternyata punggung Mami tidak rata. Sebelah kanannya terasa bongkok dan agak menonjol.

 “Mami tidak ingin Farah kena skoliosis juga seperti Mami,” kata Mami.

Skoliosis..? Hmm, apa itu?

Mami menjelaskan, skoliosis adalah kelainan bentuk tulang punggung atau tulang belakang. Tulang belakang yang harusnya lurus malahan membentuk kurva seperti huruf C atau S.

Mami mulai bercerita. Sama seperti Farah, Mami suka membaca sejak kecil. Dulu Mami paling suka membaca dengan posisi duduk bersila dan tangan bertopang dagu ke sisi kanan. Siku bertumpu di paha kanan, sehingga punggung miring ke kanan. Mami betah membaca berjam-jam dengan posisi seperti itu.

Mami juga suka duduk malas-malasan di kursi. Punggung dibiarkan melorot, tidak tegak. Persis posisi favorit Farah. Oma sudah sering menasehati, tapi Mami tak peduli.

Sewaktu SD kelas lima, seorang teman menegur Mami. Katanya pundak Mami tidak rata, yang kanan lebih tinggi daripada yang kiri. Awalnya Mami mengira temannya itu hanya main-main. Mami baru percaya ketika mengamati pas-fotonya sendiri. Di situ terlihat bahwa pundak Mami memang agak tinggi sebelah. Oma juga mendapati, ketika rukuk dalam sholat, punggung kanan Mami terlihat menonjol.

Semakin lama Mami pun semakin menyadari ada yang aneh dengan tubuhnya. Setiap kali mengenakan celana panjang, pipa celana yang kiri terlihat lebih pendek. Ternyata, itu disebabkan karena pinggul Mami telah menjadi tidak seimbang antara kiri dan kanan. Pinggang kiri Mami berlekuk sedangkan pinggang kanan lurus-lurus saja. Itulah sebabnya mengapa pipa celana kiri menjadi ‘menggantung’ kalau dipakai.

“Ih, aneh sekali ya Mi,” sela Farah.

“Iya Farah. Selain aneh, rasanya juga tidak nyaman,” jawab Mami.

Dari pelajaran Biologi, Mami akhirnya tahu bahwa apa yang dia alami adalah skoliosis. Tulang belakangnya berbentuk melengkung seperti huruf S. Mami menduga, posisi duduknya yang tidak tegak dan bertumpu ke satu sisi yang menjadi penyebabnya.

Mami pun mencari tahu tentang skoliosis ini. Ternyata, skoliosis cukup berbahaya. Kalau dibiarkan, tulang belakang akan semakin parah bengkoknya dan bisa menyebabkan nyeri punggung dan sulit bernapas. Salah satu cara untuk ‘mengoreksi’ skoliosis adalah dengan pemakaian brace atau semacam ‘rompi’ yang terbuat dari logam. Brace ini harus dipakai 23 jam setiap hari, termasuk ketika tidur.

Selain itu kata Mami, ada penderita skoliosis yang harus sampai dioperasi karena melengkungnya sudah parah. Bagian punggung dibedah, posisi tulang diperbaiki dan bila perlu dipasang alat logam di dalamnya.

Sejak itu, Mami mulai menjaga postur tubuhnya. Punggung dijaga selalu tegak tetapi tetap luwes dan tidak tegang. Mami tidak ingin memakai brace, apalagi operasi. Selain mahal, memakai brace pasti akan sangat tidak nyaman. Sedangkan operasi? Huaaa, Mami ngeri, dan pastinya juga biayanya lebih mahal lagi.

Untungnya Mami segera sadar sebelum skoliosisnya semakin parah. Walaupun punggungnya sudah terlanjur melengkung. Mami bersyukur tidak sampai harus memakai brace atau operasi. Bahkan kalau tidak diamati betul-betul, badan dan punggung Mami terlihat oke-oke saja. Hanya sedikit orang yang tahu bahwa Mami sebenarnya mengalami skoliosis.

“Makanya Mami ingin Farah selalu jaga postur tubuh. Jangan membungkuk atau miring. Terutama kalau pas duduk. Jangan sampai kena skoliosis seperti Mami,” Mami menutup ceritanya.

“Siap, Mami Skoli!” goda Farah.

Mami memencet hidung Farah gemas.

***

Tuesday, May 20, 2014

Museum Nasional, Its Collections Make Connections



Apa yang langsung terbayang pertama kali saat kata ‘museum’ terdengar? Seperti saya, bagi sebagian orang mungkin terbayang koleksi benda-benda kuno atau bersejarah di dalamnya.

Ada benarnya, walaupun kurang tepat. Menurut KBBI, definisi kata museum adalah gedung yang digunakan sebagai tempat untuk pameran tetap benda-benda yang patut mendapat perhatian umum, seperti peninggalan sejarah, seni dan ilmu; dan tempat menyimpan barang kuno.

Suasana dalam Museum
sumber: fanpage Museum Nasional
Dengan adanya museum, kita yang hidup di masa sekarang bisa ‘terhubung’ dengan kehidupan di masa lalu, melalui benda-benda yang menjadi koleksinya. Dan di masa yang akan datang, koleksi benda-benda di museum akan ‘menceritakan’ kehidupan kita kepada generasi penerus. Melalui museum pula, kita bisa mengetahui kehidupan dan budaya lain seantero dunia, memperkaya khazanah budaya dan memahami perbedaan antar suku bangsa.

Wow, betapa museum bisa menjadi penghubung antar dimensi ruang dan waktu.

Kita dan Museum

Sayangnya, disadari atau tidak, masih sedikit di antara kita yang tertarik untuk mengunjungi museum. Padahal Indonesia memiliki cukup banyak museum yang cukup beragam. Sebut saja Museum Nasional, Museum Bahari, Museum Tekstil, Museum Bank Indonesia, Museum Geologi, Museum Batik, Museum Wayang, hingga Museum Gempa dan Museum Tsunami.

Dibandingkan dengan museum di luar negeri, khususnya di Eropa dan Amerika Serikat, minat penduduk Indonesia untuk mengunjungi museum lokal masih terbilang rendah. Anak-anak atau murid sekolah kurang dikenalkan dengan museum sejak dini.

Padahal museum merupakan salah satu media pembelajaran. Jika diajak untuk lebih mengenal museum, anak-anak bisa saja menjadi lebih tertarik. Dari museum, anak-anak atau murid sekolah bisa mengenali kehidupan masa lalu, sejarah bangsanya, juga ragam budaya dan keunikan semesta.

Kunjungan Siswa ke Museum
sumber: fanpage Museum Indonesia
Dari mana? Tentu saja dari koleksi benda-benda yang ada di dalamnya. Juga dari kegiatan di dalamnya. Melalui media yang nyata, tentu akan lebih mudah ditangkap dan dipelajari, serta ada ‘bayangan’ yang lebih konkret daripada hanya sekedar membaca buku pelajaran atau mendengarkan penjelasan guru di dalam kelas.

Museum Nasional dan Masyarakat

Di Indonesia, kita boleh berbangga karena memiliki museum yang terbesar di Asia Tenggara, yaitu Museum Nasional. Museum yang dikenal juga sebagai Gedung Gajah ini diklaim memiliki koleksi museum terlengkap di Indonesia. Di websitenya tercatat bahwa museum ini memiliki 240.000 koleksi yang terbagi dalam kategori Histori, Geografi, Prahistori, Numismatik dan Keramik, Etnografi dan Arkeologi.

Museum Nasional
sumber: http://en.wikipedia.org
Tiket masuk ke Museum Nasional murah-meriah. Cukup Rp 5.000,- untuk dewasa dan Rp 2.000,- untuk anak-anak. Bahkan jika berombongan minimum 20 orang, harga tiketnya lebih murah lagi, yaitu Rp 3.000,- untuk dewasa dan Rp 1.000,- untuk anak-anak/pelajar TK s.d SMA. Ringan bukan?

Dalam rangka meningkatkan pelayanan pengunjung, serta untuk meningkatkan minat dan apresiasi terhadap budaya dan koleksi museum, Museum Nasional  memiliki layanan pemanduan atau bimbingan.  Selain dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, pemanduan tur museum juga dilaksanakan dalam bahasa lain seperti Bahasa Perancis, Bahasa Korea dan Bahasa Jepang.

Tak hanya datang berkunjung dan sekedar melihat-lihat koleksi, di Museum Nasional masyarakat bisa menikmati ragam kegiatan yang lain yang lebih bernuansa dinamis dan interaktif seperti pameran, festival, seminar, simposium dan pemutaran film. Dengan aneka kegiatan ini, diharapkan museum lebih memiliki daya tarik bagi masyarakat.

Festival Jurnalisme, salah satu kegiatan interaktif di Museum Nasional
sumber: http://museumnasional.or.id
Harapannya, museum tak hanya sekedar ‘etalase’ untuk dilihat sekali jalan, namun lebih dari itu, museum bisa menyajikan atraksi dan menjadi media yang interaktif bagi masyarakat. Museum tak lagi menjadi tempat yang asing, namun menjadi salah satu alternatif wadah bagi aktivitas masyarakat.

International Museum Day: Museum Collections Make Connections

International Council of Museums (ICOM) menetapkan tanggal 18 Mei sebagai International Museum Day atau Hari Museum Internasional. Sebagai anggota ICOM, tahun ini Museum Nasional ikut serta merayakan International Museum Day 2014 sekaligus untuk memperingati 236 tahun berdirinya, dengan menyelenggarakan Festival Hari Museum Internasional.

Berbagai acara menarik digelar dalam festival ini, di antaranya Pameran Potret Museum Nasional Indonesia, seminar sejarah, lomba kreatifitas (essai dan komik), workshop kreatifitas seni dan kriya, juga pertunjukan film dan kesenian. Festival yang dihelat tanggal 17 – 24 Mei 2014 ini membuka peluang kepada masyarakat untuk berinteraksi lebih dengan museum, khususnya Museum Nasional.  

Pentas Mini Teater Koma di Museum Nasional
menarik antusiasme masyarakat
sumber: fanpage Museum Nasional
Aneka kegiatan tersebut merupakan upaya Museum Nasional untuk lebih melibatkan masyarakat dan meningkatkan minat masyarakat untuk mengunjungi museum dan memiliki bonding dengan museum. Hal ini sejalan dengan visi yang diusung yaitu “Terwujudnya Museum Nasional sebagai pusat informasi budaya dan pariwisata yang mampu mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan peradaban dan kebanggaan terhadap kebudayaan nasional, serta memperkokoh persatuan dan persahabatan antar bangsa". Selaras dengan tema International Museum Day kali ini: Museum Collections Make Connections.

Referensi:

 

Wednesday, May 14, 2014

[Dimuat di Republika]: Pandangan Si Kecil terhadap Pedagang Keliling


Alhamdulillah satu tulisan ringan tentang anak-anak dimuat di rubrik Buah Hati harian Republika (suplemen Leisure) edisi Selasa 13 Mei 2014. Lumayan cepat proses muatnya, karena saya mengirimnya tanggal 4 Mei. Berarti 'masa tunggu'nya cuma 9 hari. Panjang naskah sekitar 500 kata, dikirim via email ke leisure@rol.republika.co.id. Berikut tulisan versi aslinya sebelum diedit oleh redaksi:



EMPATI SI KECIL KEPADA PEDAGANG KECIL
 


“Gorengan anget-anget..! Gorengan buuu...!”

Seruan melengking nenek penjual gorengan keliling mengalun mengusik ketenangan Minggu siang itu. Seperti biasa, suasana perumahan sepi. Para penghuni kebanyakan sedang menghabiskan waktu refreshing bersama keluarga di luar rumah atau tidur siang.

“Kasihan ya Bun, nggak ada yang beli,” celetuk si sulung Nadaa.

Celetukan yang sama dengan apa yang saya rasakan di hati. Prihatin, karena jarang sekali ada yang mau membeli gorengan nenek itu.

“Iya Nak. Bagaimana kalau kita beli?” usul saya.

“Tapi kan rasanya kurang enak, Bun. Hanya asin saja. Lagian udah dingin, nggak panas lagi. Lebih enak gorengan yang Bunda bikin,” Nadaa menjawab ragu.

Ya, memang harus diakui, gorengan yang dijajakan si nenek ‘kurang memuaskan’ rasanya. Mungkin itu sebabnya dagangannya kurang laku. Di sepanjang blok, sepertinya hanya kami yang kadang membeli gorengannya.

Belum sempat saya berkomentar, Nadaa sudah menyambung, “Eh tapi kasihan juga kalau tidak laku. Ya sudah, Nadaa panggil ya Bun?”

“Kasihan?” ulang saya.

“Soalnya udah tua, nenek-nenek. Capek jalan kaki, tapi nggak ada yang beli,” terang Nadaa.

Jadilah hari itu kami menikmati bakwan dan ‘mendoan’ ala si nenek sebagai cemilan sore. Agak keras dan keasinan, tapi membawa rasa syukur di hati. Menyaksikan senyum merekah si nenek ketika menerima uang pembayaran gorengan dari kami, dengan ucapan “terimakasih ya Mbak” yang tulus.

“Kapan-kapan kita beli gorengannya lagi ya Bun. Biar neneknya senang. Nadaa jadi ikut senang,” kata Nadaa. Saya tersenyum mengiyakan.

“Yang susu, yang susu..!!”

Di pagi hari, giliran suara lantang kakek tua penjual sule (susu kedele) yang memecah sunyi di perumahan kami. Setiap pagi, kakek ini berkeliling menawarkan susunya menggunakan sepeda mini.

“Beliii..!” Si kecil Hilmy buru-buru keluar rumah, diikuti Nadaa. Seperti biasa, mereka memilih susu rasa coklat dan stroberi.

“Kakek itu kasihan ya Bun,” kata Nadaa. Diikuti anggukan Hilmy.

“Kenapa?” pancing saya.

“Sudah tua masih harus cari uang, keliling-keliling naik sepeda jualan susu. Kan capek,” jawab Nadaa.

“Iya, makanya kita beli susunya. Biar si kakek dapat uang banyak,” sambung Hilmy polos.

Saat mereka berdua asyik menikmati susu masing-masing, saya bercerita bahwa di kantor ada juga penjual susu kedele dengan merk sama seperti yang dijual si kakek. Bedanya, penjual susu kedele yang acap mampir di kantor saya masih muda, dan mengendarai motor.

“Bunda jangan beli yang di kantor. Belinya sama kakek itu aja.. kasian kalo kita tidak beli,” ujar Hilmy.

“Iya Bun. Lagian yang jualan di kantor kan pasti lebih banyak yang beli. Apalagi dia pake motor. Kalo kakek itu kan capek karena cuma naik sepeda, dan sudah tua,” Nadaa menimpali.

Saya mengangguk-angguk. Terharu mendengar permintaan mereka.

Dengan mengajak berinteraksi dan berdiskusi tentang para pedagang kecil itu, alhamdulillah bisa mengasah empati Nadaa (10 tahun) dan Hilmy (5.5 tahun) terhadap sesama. Semoga hingga anak-anak dewasa kelak, rasa empati itu selalu terjaga.

***